Saat
terjadi ledakan dan brisik rentetan tembakan, itu bukan bukti kemarahan kami atas
beredarnya sandal berhias kaligrafi surah Al-Ikhlas, sampul Al-Qur'an dijadikan
terompet, lembaran Al-Qur'an yang menjelma bungkus petasan, hingga karpet
ibadah yang diinjak sebagai alas pentas tarian.
Bagaimana
bisa kami melempar peledak pada orang-orang yang bahkan bukan musuh kami.
Sedang Rasul kami mengajarkan kesabaran dalam hati, tak pernah mencipta amarah
bahkan setelah dilempar kotoran berkali-kali.
Bagaimana
bisa kami kokang senjata pada saudara-saudara kami. Sedang saat kami hanya
bicara membela agama kami, kami dijejali ide-ide menenangkan "umat islam
harus sabar, jangan fanatik, harus toleransi"
Bagaimana
bisa kami menebar teror di tanah kami sendiri. Sedang kami yang memanjangkan
jenggot, memakai cadar, bahkan hanya berjilbab besar yang selalu berdiam manis
dituduh teroris.
Aku
tertawa sambil tertangis memikirkan sekularisme yang semakin menjadi pupuk bagi
liberalisme dan komunisme. Ah...biar Tuhan kami yang akan menampilkan bukti
kesabaran kami atas hinaan, fitnah, dan kejahatan yang dilabelkan pada kami.
Hingga ahli fitnah yang sekarang terpingkal akan meringis, menangis, lalu
terjungkal.
Aya
El-Khumairah
Benarkah
kami menyembunyikan bom dalam jilbab kami? 160116