Rabu, 09 Maret 2016

KAMI DAN ISLAM TAK LAYAK UNTUK DISALAHKAN!!



Saat terjadi ledakan dan brisik rentetan tembakan, itu bukan bukti kemarahan kami atas beredarnya sandal berhias kaligrafi surah Al-Ikhlas, sampul Al-Qur'an dijadikan terompet, lembaran Al-Qur'an yang menjelma bungkus petasan, hingga karpet ibadah yang diinjak sebagai alas pentas tarian.
Bagaimana bisa kami melempar peledak pada orang-orang yang bahkan bukan musuh kami. Sedang Rasul kami mengajarkan kesabaran dalam hati, tak pernah mencipta amarah bahkan setelah dilempar kotoran berkali-kali.
Bagaimana bisa kami kokang senjata pada saudara-saudara kami. Sedang saat kami hanya bicara membela agama kami, kami dijejali ide-ide menenangkan "umat islam harus sabar, jangan fanatik, harus toleransi"
Bagaimana bisa kami menebar teror di tanah kami sendiri. Sedang kami yang memanjangkan jenggot, memakai cadar, bahkan hanya berjilbab besar yang selalu berdiam manis dituduh teroris.
Aku tertawa sambil tertangis memikirkan sekularisme yang semakin menjadi pupuk bagi liberalisme dan komunisme. Ah...biar Tuhan kami yang akan menampilkan bukti kesabaran kami atas hinaan, fitnah, dan kejahatan yang dilabelkan pada kami. Hingga ahli fitnah yang sekarang terpingkal akan meringis, menangis, lalu terjungkal.

Aya El-Khumairah
Benarkah kami menyembunyikan bom dalam jilbab kami? 160116

Tak apa jika ini kau sebut sastra curhat, karena pada dasarnya memang begitu.



SYALALA

Desah suara angin kembali membasahiku dalam pekat malamku
Jendela kamarku masih tetap sama mama
Masih terlihat anak-anak bermain petak umpet bertukar tawa
Tapi kemana perginya punya kita mama?
Kemana lagu syalala yang kemarin memenuhi istana kita
Rintik air langit menggelitik segenap pilu yang tersungkur
Ruangan ini masih persis dimasa kecilku papa
Masih terpampang potret gadis kecil bertopi lucu setengah menangis takut kamera
Tapi kemana berlalunya milik kita papa?
Kemana aku harus mencari lagu syalala kita
Bulan di atas halaman rumah memburuku dengan senyum elok mengejek
Tempat ini masih bertabur rumput hijau yang kita tanam bersama
Masih tumbuh subur bunga kamboja di pojok kanopi berwajah bata
Tapi kemana perginya langkahmu papa?
Papa menghilang bersama malam berteman suara burung bermata besar
Kali ini angin yang memeluk tubuhku erat barangkali membawa berita penawar pilu
Istana kita masih belum rata dengan tanah mama
Masih terdengar suara anak-anak bermain congklak di ruang tengah
Tapi kemana perginya mama?
Mama menghilang bersama pangeran dengan cambuk kepedihan
Lalu kemana lagu syalala kita?
Aku dan  anak-anak itu mengitari rumah mencari sisa  melodi kita yang tak bernyawa


Aya El-Khumairah
Bersama deru suara kipas angin, teruntuk mereka yang tak lagi bersama, 301015

Anggap saja puisi atau sekedar bercerita tentang mereka,



ADELA MAU SEKOLAH TUHAN!

Anak berseragam putih merah membawa fajar di langkah senjanya
Dicium tangan kedua pelitanya di depan pintu gubuk berayap
Bundanya mendekapnya dengan kehangatan cahaya bulan
Anak itu mencium pipi bundanya berwajah merona

Petang saat mereka berkumpul bersama
Berbagi rasa dari hari yang terlewat senja
Disodorkan kertas hijau bertulis tunggakkan
Bapaknya menarik nafas panjang meremas kertas pengundang tangis terpecah

Ah...Adela andai kita orang berpunya
Tak akan kau berderai air mata di tengah petang
Dimana bapak akan memburu kertas bergambar Sukarno-Hatta lima lembar
Sedang sehari hanya kertas bergolok dua puluh lima lembar yang terselip di kantong

Ampuni kami yang tak berguna ini nak
Yang hanya bisa terisak diterkam rasa bersalah
Kemarilah sayang , ibu dekap kau lagi
Biar luka mimpimu dapat terbalut perban perasaan kasih

Jangan terisak anakku sayang
Jangan lukai hati renta ini dengan tangis mu yang menyayat malam
Simpan saja seragam dan buku-buku mu dalam karung goni di belakang gubuk
Jangan lupa simpan mimpimu sebagai hiasan di kembang lelapmu


Sudah-sudahlah Adela biar susah kita bawa
Kita lupa perih sambil mencumbui secangkir teh seduhan bundamu
Besok kau pergi ke sawah bersama kami sayang
Biar kita bisa melanjutkan detak jantung yang tersendat-sendat ini

Malam makin larut meninggalkan cangkir-cangkir usang di ruang berdebu
Anak itu menutup wajahnya dengan bantal memudarkan tangisnya
Sayup-sayup terdengar suara kecil tak bernyali
Beri Adela uang, Adela mau sekolah Tuhan!


Aya El-Khumairah
Berkisah tentang mereka diluar sana yang mengubur mimpi, 051115

Jugun Ianfu, apa kalian lupa atau justru sama sekali tak tahu?



JANGAN PANGGIL AKU MOMOYE!


Jangan kau menyentuhku pria tak berakhlak
Apa tak khawatir kau dibantai dosa yang membawamu ke dalam api?
Kembalilah ke negeri mataharimu pria tak berhati
Disini bukan tempat untuk menampung birahi kotormu

Jangan panggil aku Momoye, sebab namaku Mardiyem
Bapakku menyembelih kambing untuk menamai anak kesayangannya
Dan kalian, memanggilku dengan nama yang membangkitkan libido menjijikkan
Telanjangi saja gadis negerimu, jangan bayangkan kami mereka

Tak perlu sodorkan karcis tak berharga
Dia tak bisa mengganti  kehormatan yang tercabik
Untuk apa terus memberi kami karcis yang kami punya segudang
Kertas itu hanya omong kosong yang katanya bisa ditukar uang

Bisakah kalian kembalikan Giyah, yang kalian panggil sakura
Sedang kalian membunuhnya perlahan dengan siksa di selakangannya
Lalu menumpuk mayatnya bersama mayat para romusha
Kalian biarkan membusuk digerogoti cacing lapar di pasar lama

Ini bukan tentang air mata kami
Sebab tangis kami tak bisa memecah malam dan mengalahkan hujan
Negeri kami , degeri terhormat
Tapi kami gadisnya, dikangkangi tentara laknat

Tak ada yang membebaskan kami dari rumah bordil ian-jo
Hanya kaki lemah kami yang nekat berjalan 52 hari
Satu persatu dari kami gugur karena sakit dan lapar
Kami masih bertahan dalam perih,
Hingga akhirnya Jepang mengaku kalah disambut lantang proklamasi


Aya El-Khumairah
Tentang Jugun Ianfu,
Perempuan bangsa yang dijadikan budak seks tentara Jepang, 061115